Rantai Penjualan Ayam Pedaging

MitraPeternakan – Menjadi penting untuk mengetahui Rantai tataniaga/penjualan ayam pedaging.  Karna hal inilah yang menjadi penopang utama keberlansungan dari usaha peternakan ayam pedaging.  Mengingat semakin berkembangnya populasi ayam ras pedaging dari tahun ke tahun.  Menurut data statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan tahun 2013 (angka sementara), populasi ayam ras pedaging di Indonesia saat ini mencapai 1.355.288.419 ekor, meningkat dari angka 1.026.379.000 ekor atau sekitar 33% dari lima tahun silam.  Peningkatan ini seiring dengan perkembangan teknologi terutama di sektor budidaya (on farm) yang semakin canggih dan modern, sehingga membuat proses produksi menjadi lebih cepat dan efisien.

Pertumbuhan disektor hulu tak seimbang di struktur hilir, ini terjadi karna pola pemasaran yang diterapkan, hampir sebagian besar masih mengandalkan pasar tradisional.  Masalah dari pola ini akan memaksa melibatkan cukup banyak titik mata rantai distribusi sebelum daging ayam sampai ke konsumen.  Ha inilah yang menyebabkan seringkali harga ayam ditingkat peternak masih sangat rendah, bahwan dibawah harga pokok produksi (HPP) namun, ditingkat konsumen tetap bertahan tinggi.

Kondisi harga ini kemudian membuat daging unggas “dicap” sebagai salah satu faktor penyumbang peningkatan nilai inflasi beberapa waktu terakhir sesuai dengan data yang dirilis oleh BPS pada bulan Mei 2014. Hal ini dikarenakan, penghitungan nilai inflasi ditentukan oleh indeks harga di tingkat konsumen, bukan harga di tingkat produsen. Namun, yang harus diingat disini adalah bahwa tingginya harga daging ayam di tingkat konsumen bukan disebabkan oleh kelangkaan, namun karena panjangnya rantai tataniaga yang harus dilewati untuk mencapai konsumen.

Kesenjangan ini merupakan hal penting yang harus dicarikan solusinya segera dan tidak bisa dibiarkan terus berlarut-larut. Rantai tataniaga yang terlalu panjang hingga melibatkan sekian banyak titik haruslah kembali dikaji bersama baik oleh pemerintah dan jajarannya bersama dengan stakeholder yang berkecimpung dalam industri broiler. Beberapa kebijakan mungkin perlu diambil dan diterapkan dalam rangka menyeimbangkan antara kepentingan produsen dan konsumen, sehingga pada akhirnya tidak merugikan satu sama lain. Di sisi lain perbaikan infrastruktur dan daya dukung usaha peternakan dari pemerintah, khususnya di sektor hilir merupakan salah satu hal yang diharapkan dapat membantu mempercepat perkembangan sektor ini.

Tak ketinggalan, penerapan Perda DKI No.4/2007 yang selama ini bisa dikatakan belum optimal pada dasarnya merupakan suatu upaya untuk memotong rantai perdagangan yang panjang ini serta sekaligus memberikan kontrol pada rantai dingin. Kedepannya diharapkan bisa menjadi inspirasi bagi wilayah lainnya dalam rangka mewujudkan pola pemasaran dan distribusi ayam pedaging yang sesuai dengan konsep ASUH (Aman, Sehat, Utuh dan Halal). Lebih jauh, upaya-upaya untuk mengedukasi masyarakat terkait preferensi mereka yang lebih menginginkan daging unggas dalam bentuk hangat (hot carcass) dibandingkan dengan daging unggas dingin (chilled chicken) maupun beku (frozen chicken) pun sepertinya perlu lebih digiatkan lagi sehingga tercapainya suatu sistem rantai tataniaga yang ideal bagi semua kalangan bisa terwujud.

Pada akhirnya, semua upaya ini akan merujuk kepada satu tujuan bersama yakni meningkatkan konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia yang hingga saat ini masih betah bercokol di level yang jauh lebih rendah jika dibandingkan Negara-negara tetangga kita di ASEAN. Tentu, melalui penyediaan produk, dalam hal ini daging ayam yang ASUH sehingga bisa berkontribusi dalam menciptakan generasi masa depan yang cerdas dan berdaya saing.

Sumber : poultryindonesia.com